The Hateful Eight (2015)

Kurt Russell and Samuel L. Jackson in The Hateful Eight

  • Directed by Quentin Tarantino
  • Cast : Samuel L. Jackson, Kurt Russell, Jennifer Jason Leigh, Walton Goggins, Tim Roth, Michael Madsen, Demián Bichir, Bruce Dern, Channing Tatum 

Nama Quentin Tarantino (QT) sudah menjadi jualan tersendiri bagi penonton film dunia, namanya menjadi merk, bahkan genre tersendiri. Setelah 3 tahun absen, Ia kembali dengan film ke-8 sepanjang karirnya sebagai sutradara bertajuk The Hateful Eight (TH8) yang masih mengikuti film terakhirnya Django Unchained- kembali berlatar belakang pasca perang saudara Amerika Serikat 1880-an yang memperjuangkan kebebasan hak warga kulit hitam. Film ini bersetting di Wyoming beberapa tahun setelah perang sipil di AS, 8 orang- 7 pria dan 1 wanita bersatu dalam satu ruangan karena badai salju dimana tak seorangpun bisa dipercaya, seseorang bukanlah seperti yang mereka katakan.

Terancam badai salju, seorang bounty hunter- semacam pembunuh bayaran yang dibayar kepolisian setelah menangkap buronan- bernama Major Marquis Warren (Samuel L. Jackson) memberhentikan sebuah kereta kuda untuk menumpang. Kereta itu berisi seorang bounty hunter berjuluk the hangman, John Ruth (Kurt Russell) yang tengah membawa tawanan- Daisy Domergue (Jennifer Jason Leigh) untuk dieksekusi di kota Red Rock. Karena pernah berjumpa sebelumnya, John Ruth mempersilakan Warren untuk menumpang. Tak lama di tengah jalan seorang pria rasis yang mengaku sheriff baru kota Red Rock, Chris Mannix (Walton Goggins) juga ikut menumpang. Untuk menghindari badai, mereka pun berhenti di Minnie’s Haberdashery– semacam shelter untuk orang-orang yang menuju kota Red Rock.

Ternyata pemilik Minnie’s Haberdashery sedang mengunjungi ibunya di luar kota, hanya ada seorang Meksiko, Bob (Demian Bichir) yang mengaku sebagai pegawai Minnie dan 3 orang pengunjung lain; pria beraksen Inggris yang mengaku algojo kota Red Rock- Oswaldo Mobray (Tim Roth), seorang koboi yang mau merayakan natal bersama ibunya- Joe Gage (Michael Madsen), dan veteran rasis yang tengah mencari putranya- Jendral Smithers (Bruce Dern). Rombongan di kereta John Ruth-pun bergabung dengan orang-orang itu di Minnie’s Haberdashery. Delapan orang yang tak saling kenal (9 sebenarnya, dengan O.B- si pak kusir) terpaksa harus menghabiskan waktu bersama karena badai salju, membuat John Ruth waspada kalau salah satu dari mereka mau membebaskan tawanannya, Daisy Domergue.

Jennifer Jason Leigh as Daisy Domergue in The Hateful Eight

Di film ke-8-nya ini, QT masih piawai menciptakan dialog rancak antarkarakter dengan banter yang mengalir natural. Kolaborasi dengan DP andalannya, Robert Richardson memakai kamera 70mm sungguh maksimal menangkap lanskap Wyoming. Meski kemudian mayoritas cerita beralih indoor, progresifitas kamera masih sangat terasa. Atmosfer spaghetti western makin kuat diiringi score komposer legendaris Italia, Ennio Morricone. Deretan casts-nya pun tak mengecewakan, tiada yang lebih fasih melafalkan ‘ayat-ayat’ Tarantino selain Samuel L. Jackson, Jennifer Jason Leigh juga tampil maksimal sebagai Daisy Domergue yang manipulatif dan tak mau dikasihani, Walton Goggins juga berhasil membuat saya kesal dengan karakternya yang overacting. Sayangnya pemain-pemain lain tak mendapat jatah maksimal. 

Banyak karakter yang kurang tergali, malah terkesan dua dimensi saja Memang, mereka beda ras, kelas, dan kebangsaan. Tetapi ketika unsur itu dicabut, mereka pada dasarnya persona yang sama dengan traits tak jauh beda, bad people? Kita sungguh tak peduli dan tak dibuat penasaran siapa yang akan mati, karena tak ada karakter yang penonton bisa rooting. 1-2 karakter yang mungkin diarahkan jadi figur protagonis pun sebenarnya tak lebih baik dan sama bersalahnya dengan yang lain. Kalau premis film ini mengatakan 8 orang yang saling curiga dan tak bisa dipercaya bersatu di satu ruang tertutup, saya merasa tak melihat hal tersebut- saling curiga antar karakter-  di film ini.

Saya sebagai penggemar QT tentu sudah terbiasa dengan dialog panjangnya. Tetapi percakapan yang terjadi di TH8 tak jelas arahnya, mindless dan tidak signifikan pada cerita. Banyak hal tak penting yang diulang-ulang dan terlalu lama, misalnya obrolan tentang surat Lincoln maupun pintu yang harus didobrak. Di film-film QT sebelumnya, meski dengan dialog panjang namun QT tahu kapan harus disudahi dan beralih progress ke narasi. Itulah yang absen disini, 90 menit tak terjadi apa-apa. Seperti yang saya bilang beberapa tahun lalu, kepergian Sally Menke memang sangat berpengaruh bagi editing film baru QT. Bandingkan saja TH8 dengan film pertamanya, Reservoir Dogs yang notabene premisnya sama namun dengan durasi yang hanya 90 menit.

Tak seorangpun membuat film seperti QT, karena tak seorangpun bisa membuat film seperti dia. Kita enjoy filmnya karena style, dialognya yang over the top, dan tentu adegan berdarah-darah khasnya. TH8 punya itu semua, tapi sayangnya kali ini QT lupa dengan jargon ‘Less is more’. Adegan kekerasan dan berdarah disini banyak yang semata untuk shock value. Melihat Daisy Domergue literally jadi samsak tinju sepanjang durasi, jujur saja too much. Terlebih narasi film ini tak berhasil memberi argumen atau bukti ke penonton bahwa Daisy lebih busuk dari para pria disini sehingga she got what she deserved. Pada akhirnya, TH8 justru terasa seperti parodi dari karya QT sebelumnya. So, is it the worst Tarantino’s film? Mungkin tidak, bagi saya film ini satu tingkat lebih baik daripada Death Proof. Well, We’ll see.

Samuel L. Jackson in The Hateful Eight

Grade : C

 

14 thoughts on “The Hateful Eight (2015)

    • Nugros C January 31, 2016 / 11:51 pm

      Yah, kalo penggemar Tarantino sih ditonton aja bang… biar bisa compare dengan karya dia sebelumnya.
      *masih tayang kok di XXI 🙂

      • wisnuwidiarta February 1, 2016 / 12:37 am

        Siap hehehe…. kemaren karena Revenant main aku nonton itu dulu pas midnight 🙂

      • Nugros C February 2, 2016 / 3:25 am

        Tapi ya siap2 aja banyak yg kena gunting LSF.

        #ayo bang di-review Revenant-nya (balada Dicaprio diperkosa beruang 🙂 )

  1. Haji Abdul Karim (@hajiabdulkarim) February 1, 2016 / 1:46 pm

    Emang kebiasaannya Tarantino bro, script dialognya kadang ngalor-ngidul kemana gitu gak nyambung ama cerita hehe.

    Btw blognya udah saya tautkan bro.

    • Nugros C February 2, 2016 / 3:29 am

      Indeed,
      cuma di film ini tuh obrolannya mindless, kaya cuma ngomong apa yg mereka mau omongin tapi plot-nya sendiri ga maju.
      Just my 2 cents as QT’s fan 🙂

      *sip link added

  2. Niken February 2, 2016 / 2:53 pm

    Belum sempet nonton. But I love your review.
    Emhh.. mungkin bukan film Tarantino yang paling oke, tapi grade C?

    • Nugros C February 2, 2016 / 2:57 pm

      Nontonlah mumpung blom turun layar, tapi kalo mo yg bebas sensor sh liat yg screener aja 🙂
      Kalo di-rangking ya No.7 dari 8 film QT ( Death Proof masih yang terburuk)

      Kenapa dgn C ? masih terlalu baik ya gw ngasihnya 😉

      • Niken February 4, 2016 / 5:13 pm

        C terlalu jahat….. Film Tarantino yang paling buruk, tapi masak iya dikasih C

      • Nugros C February 4, 2016 / 5:23 pm

        ga terburuk kok, masih no.7 (haha, runner up)

        dgn segala pertimbangan kenikmatan menonton (halah… 🙂 ) jadilah masih dikasih C

  3. yudi February 2, 2016 / 3:12 pm

    Memang bukan film Tarantino yang terbaik. Blog nya udah saya tautkan mas bro -wismacinema.blogspot.co.id-

    • Nugros C February 3, 2016 / 3:58 am

      Dan bukan yg terburuk, tapi hampir jadi yg terburuk 😛
      #link added bro,

  4. Pras February 5, 2016 / 1:30 pm

    Aah, ya ya, sepakat bang.
    untuk film ini memang rasanya pertama dari filmnya QT yang obrolannya terasa kosong, panjang dan cerewetnya masih terasa QT, tapi tidak membawa kita lebih dalam ke dalam filmnya.
    Dan dengan banyaknya karakter yang kurang tergali, apa mungkin nantinya akan dibuat semacam prequelnya (?) kita tunggu saja

  5. kemkem27 February 10, 2016 / 3:29 pm

    selera orang memang beda yah.. saya merasa fim ini salah satu karya terbaiknya QT. ritme intens nya terjaga sangat baik menjelang klimaks, belum lagi adegan berdarah-darah di penghujung film bikin jingkrak jingkrak.

Leave a comment